Senin, 12 Agustus 2013

yo siempre, tiamo... (untuk selamanya, aku mencintaimu...)

Entah sudah berapa lama aku berhenti menulis. Memberi jeda dihatiku. Aku tak pernah menyalahkanmu jika mengatakan cinta itu tiada di hatimu. Walau sulit kukemas airmata ini, aku takkan menyesali. Bukankah sejak semula aku tlah mengatakan. Ketika aku mencintai, yang terpenting adalah kebahagiaan dia yang aku cintai. Bahagiaku adalah apabila melihat ia tersenyum dan bahagia, siapapun yang ada disisinya.

Namun satu hal yang membuatku sangat sedih adalah kau meragukan perasaanku. Kamu salah, sayang... cinta bukanlah cinta bila ia terjadi karena biasa bersama. Cinta adalah ya cinta. Sebuah kata sakral yang tak bisa sembarang disebutkan bukanlah sekedar kekaguman semata. Cinta bukanlah sesuatu yang butuh proses dan hanya butuh waktu singkat untuk menyatakan dan menjawabnya. Aku mencintaimu seketika sejak pertama bertemu denganmu. Aku ingat saat itu kau mengenakan kaus merah. Tersenyum, dan aku merasa telah sangat lama mengenalmu. Jauh-jauh hari berpuluh-puluh tahun sebelum hari pertama pertemuan itu. Kau mengatakan jika kita tak pernah saling mengenal. Ya... mungkin aku tak mengenal jati dirimu, tetapi aku sangat kenal hatimu. Katamu kita tak saling mengenal. Namun sesungguhnya kita bukannya tak saling kenal melainkan kau tak pernah mengizinkanku untuk memperkenalkan diriku. Sekiranya kau lihat sedikit saja ke dalam mata ini, tetapi kau tak pernah lakukan itu. Kenapa borealis? Apakah kau terlalu takut jika melihatku dan berada didekatku itu akan membuatmu merasakan hal yang sama denganku?

Dulu... ketika hubunganku dengan lelaki cinta pertamaku berakhir, aku pernah berdoa satu hal. Tuhan... jangan buat aku jatuh cinta pada siapapun kecuali kepada dia yang memang ditakdirkan untukku. Dan semenjak saat itu aku merasa benar-benar hambar pada siapapun. Hingga akhirnya kau datang, dan segala rasa itu kembali. Itulah mengapa aku mengira kau cinta terakhirku. Katakanlah aku gila, tapi itulah adanya. Sebelum kamu dan setelah kamu... aku tak pernah merasa se tak waras ini.

Salahkah aku? Aku juga tak ingin terlibat dengan rasa ini. Kau bukan tipikalku, tetapi kau membuatku jatuh cinta. Tanpa perlu kau bicara, aku mengerti segala sedihmu, inginmu, takutmu. Ingin rasanya aku memberikan pangkuanku agar kau bisa merebahkan kepalamu pada itu. Dan kau tak perlu bicara, aku pun takkan bertanya. Ketenangan hanya bisa diperoleh dalam keheningan. Aku tak pernah ingin jatuh kepadamu, aku tak tau apakah aku bisa menjadi alasan kebahagiaanmu, tapi kuyakin tak pernah salah kumencintamu.

Aku tak pernah meminta kau mencintaiku, tetapi aku merasakan sekali ada bagian terkecil dari hatimu yang menempatkan aku dalam zona yang tak ingin kau sentuh karena kau begitu takut terjerembab karenanya. Sadar atau tidak kau mengingkari hal itu.
Dan pada akhirnya, disaat aku telah bersamanya yang membuatku menjadi tak lagi layak memilikimu, dia pun hadir. Menemani hari-harimu, mengisi kekosongan yang tak mampu kuraih. Aku memang manusia biasa, tak cukup sempurna untuk mendampingimu yang luar biasa. Kau terlalu indah untuk menjadi nyata di hidupku. Aku hanya bisa menjadi pemuja yang mencintai gemintang dan hanya bisa melihat bintang itu di kejauhan.

Kuucapkan selamat berbahagia kau dengannya. Jika dia bisa membahagiakanmu, itu sudah cukup. Kurelakan rasa ini mengalir melalui jemarinya. Namun sebagai seorang wanita, aku tak bisa pungkiri. Jantungku sesak melihat kau dengannya. Sehingga inilah langkah yang kuambil. Menenggelamkanmu di sudut tergelap dalam hidupku, agar aku tak lagi tau, dan kaupun tak perlu tau. Ini bukan kejahatan. Karena tak ada yang jahat ataupun baik dalam hal ini. Tidak... ini bukan tentang itu.

Aku pernah mendengar, kau berkata aku mempermainkan. Dimana aku telah memiliki seseorang yang sangat terang cahaya cintanya untukku, tetapi mengapa aku memberikan hati itu justru untukmu. Ketahuilah, aku tak pernah sengaja memberikannya. Itu melesat sendiri seperti anak panah yang menuju kepadamu.

Sayonara... aku sudah lama tidak mengatakan itu semenjak aku disakiti oleh segala hal tentang jepang. Selamat berpisah, tuan pelangi malam hari. Aku tak berharap dikenang olehmu. Tetapi percayalah, kau penyembuh segala lukaku. Kau tak perlu obat, karena kaulah obat itu... obat yang mengembalikan aku menjadi intan rahmi yang sebenarnya. Intan rahmi yang ketika itu berusia 17 tahun. Sayonara... aku ingin menghilang dari kau dan sebagian besar kenangan di masa kuliah ini. Aku kan terbang mengepak sayap menuju impian terbesarku. Menjadi perawat yang dengan caraku sendiri. Bukan dengan cara yang seperti perawat pada umumnya.

Sayonara, Laruku-kun. Arigato gozaimatsu untuk takdir yang pernah mempertemukan aku denganmu. Semoga saja kau membaca blog ini. Aku hanya bisa berharap itu. Mungkin kalau kau berkenan, kenali aku melalui alunan lagu-lagu Kahitna dan juga hujan. Jika kau mendengarkan lagu-lagu itu dengan baik, maka kau akan mengenal siapa aku